Penyakityang selalu menghalagi manusia untuk bertakwa ialah keterpikatan kepada dunia. Memang disadari atau tidak, dunia merupakan perhiasan sebagaimana hadits Nabi. Jadi,
Kita acap kali tidak adil dalam memberi perhatian terhadap urusan dunia dan urusan akhirat. Seringkali seluruh perhatian dan potensi dikerahkan untuk urusan dunia, sedangkan akhirat seperlunya saja. Padahal dunia dan akhirat sangat tidak sebanding. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam Kitab-Nya bahwa Akhirat lebih baik dari dunia. “Wal akhiratu khairun laka minal ula; dan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan yang pertama dunia”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Adh-Dhuha. Bahkan akhirat tidak hanya lebih baik dari dunia. Ia juga lebih kekal. “Wal akhiratu khairun Wa abqa; dan akhirat lebih baik serta lebih kekal”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lain. Olehnya, tidak selayaknya kita mengerahkan seluruh perhatian dan potensi untuk dunia yang sementara lalu mengabaikan akhirat yang kekal dan lebih baik. Seharusnya perhatian dan kesungguhan kita terhadap dunia sekadar dengan singkatnya kita berdiam di sini. Demikian pula dengan akhirat, perhatian kita kepadanya hendaknya seukur dengan lamanya tinggal di sana, sebagaimana diwasiatkan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. “Bekerjalah untuk duniamu seukur berapa lamanya kau akan tinggal di bumi. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seukur berapa lamanya kau akan hidup di sana”. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita sebagai hambaNya, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak ” QS al-Hadid 20. Saat melewati sebuah pasar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab, “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi, “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan cuma-cuma pada kalian?” Serentak mereka menimpali, “Demi Allah, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi”. Sambil tersenyum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia di sisi Allah jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini“ HR. Bukhari. Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air“ HR. Tirmidzi. Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia. Dalam menyikapi kehidupan dunia dan tujuan akhirat yang dituju, anak adam terbagi menjadi dua Golongan pertama, mereka yang mengingkari kehidupan akhirat setelah alam dunia ini berakhir. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan tidak percaya akan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan“. QS Yunus 7. Golongan kedua, mereka yang meyakini adanya hari pembalasan pasca kehidupan dunia. Golongan ini mengakui para Rasul serta membenarkan risalahnya. Kendati kondisi mereka bertingkat, seperti disinggung dalam firman-Nya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” QS. Fathir 32. Berdasarkan ayat di atas, golongan kedua ini Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi mereka ke dalam beberapa kelompok, yaitu Pertama, zaalimun linafsihi. Yakni, orang yang menzalimi diri sendiri. Dalam kehidupan ini mereka banyak terjebak dalam perkara-perkara haram. Sebab bagi mereka, dunia adalah segalanya. Wala’ kecenderungan-nya pun sepenuhnya diserahkan pada dunia. Makanya, mereka dikatakan menzalimi diri sendiri. Karena sikap mereka itu sedikitpun tidak memberi mudharat bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka itu kembali pada diri sendiri. Gerak hidup mereka kebanyakan didominasi kepentingan hawa nafsu dan pemuasan syahwat hewani. Kedua, muqtashid. Yakni, golongan pertengahan. Mereka menikmati kehidupan dunia dari arah yang dibolehkan, disamping melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan syari’at. Golongan ini tidak tercela. Hanya saja derajat mereka di sisi Allah Ta’ala tidaklah istimewa. Diriwayatkan, Umar bin al-Khattab t berkata, “Seandainya bukan karena takut derajatku di surga akan berkurang, sudah pasti aku akan mendahului kalian dalam hal kehidupan dunia. Saya mendengar Allah Ta’ala mencela suatu kaum melalui firman-Nya, “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya“ QS al-Ahqaf 20. Ketiga, sabiqun bi al-khairaat. Yakni, orang-orang yang bersegera mengerjakan amal-amal kebajikan. Mereka paham hakikat kehidupan dunia ini. Mengerti maksud dan tujuan mengapa mereka diciptakan. Hingga akhirnya mengarahkan mereka mengubah segala gerak dalam hidup sebagai amal dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Disamping itu, mereka sadar, bahwa Allah Ta’ala menempatkan segenap hambaNya di bumi untuk menjalani ujian. Hal ini, agar kelihatan siapa yang paling baik amalnya. Paling zuhud terhadap dunia. Dan paling cinta pada negeri akhirat. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” QS al-Kahfi 7, demikian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa cukup mengambil dunia sekedar bekal menghadapi perjalanan panjang. Karena dunia, menurut mereka, adalah terminal mengisi segala perbekalan yang dibutuhkan. Olehnya, Allah Ta’ala mengingatkan kita akan hal itu “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa“ QS al-Baqarah 97. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini?!, tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya“. HR. Tirmidzi. Artinya, kampung sebenarnya bagi hamba adalah kampung akhirat. Keluarga hakiki baginya adalah keluarga di akhirat. Harta kekayaan sebenarnya adalah harta di akhirat. Merugilah orang-orang yang tega menjual akhiratnya demi mengais secuil kesenangan dunia yang fana. Makanya, tanamkan niat taqwa dalam seluruh aktifitas hidup. Hal mana agar setiap perbuatan kita di muka bumi bernilai pahala di sisi-Nya. Sebab demikianlah maksud keberadaan kita di dunia. Ibadah, dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Mu’adz bin Jabal t berkata, “Aku mengharapkan pahala dari tidurku, sebagaimana mengharapkan pada waktu terjagaku shalat malam”. Mengapa kita selalu lelah di dunia ini? Sebelum menjawabnya, marilah kita melihat dan merenungi bagaimana al-Qur’an bertutur kepada kita. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berdzikir dan mengerjakan shalat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka berlarilah bersegeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” QS. al-Jumu’ah 9. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan kebaikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan” QS. al-Baqarah 148. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memohon dan meraih ampunanNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga” QS. Ali-Imran 133. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk kembali dan menuju kepadaNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlarilah kembali ta’at kepada Allah” QS. Adz-Dzaariyat 50. Seluruh bentuk perintah untuk akhirat di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya dengan kata atau kalimat perintah ; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna. Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang dunia dan semua bentuk kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata atau kalimat dalam bentuk lainnya. Mari kita lihat. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang urusan menjemput rizki duniawi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari RizkiNya” QS. Al-Mulk 15. Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menggunakan kata atau kalimat perintah; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna seperti pada perkara-perkara akhirat di atas. Namun, dalam ayat tersebut, untuk urusan dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala cukup menggunakan kata atau kalimat “berjalanlah”. Jika kita mau merenungi hal ini, semestinya kita bisa memahami, kapan kita perlu berlari, atau menambah kecepatan lari kita, atau bahkan cukup berjalan saja. Jangan-jangan, selama ini kita merasa lelah, karena malah berlari mengejar dunia yang seharusnya cukup dengan berjalan. Oleh karena itu, sekali lagi, adillah Saudaraku! Adil itu tidak harus sama. Tapi, adil itu ketika kita mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ya, akhirat tempatnya teramat jauh dan tinggi dibandingkan dunia. “Dunia dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang di antara kalian mencelupkan jarinya kelautan, maka hendaklah ia melihat air yang menempel di jarinya setelah ia menariknya” HR. Muslim, begitu pesan Nabi kita. Namun, betapapun akhirat menjadi tujuan tertinggi, tentu saja dunia adalah bagian dari kehidupan kita yang tidak dilupakan. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi” QS. Al-Qashas 77, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sebuah ayatNya. Maksudnya yaitu gunakanlah harta yang banyak dan nikmat yang berlimpah yang telah Allah berikan kepadamu di dalam ketaatan kepada Rabmu dan untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai macam bentuk taqarrub, yang dengannya engkau akan mendapatkan pahala di negeri akhirat. Namun, janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi yaitu apa- apa yang telah Allah halalkan untukmu di dunia seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan pernikahan, sesungguhnya Rabmu mempunyai hak darimu, dirimu mempunyai hak darimu, keluargamu mempunyai hak darimu, istriu mempunyai hak darimu, maka berikanlah hak kepada setiap pemilik hak Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 253-254. Wallahu a’lam. Oleh Azwar Iskandar
KEUTAMAANmembaca tiga ayat Alquran saat sholat maka lebih baik daripada mendapatkan tiga ekor unta yang gemuk dan besar. Ini adalah kutipan hadis sahih yang memberi motivasi mencari pahala akhirat dibanding dunia. Isi lengkap isi hadis soal itu yakni: Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Rabu, 24 Zulqaidah 1444 H / 2 Maret 2011 1630 wib views Oleh Badrul Tamam Alhamdulillah, segala puji Allah yang menjanjikan surga bagi hamba yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para sahabatnya. Sesungguhnya kebaikan hamba di dunia dan akhirat berporos pada takwa. Sehingga Allah Ta’ala memerintahkannya dalam banyak firman-Nya dengan beragam cara, salah satunya menjanjikan pahala besar bagi para hamba yang bertakwa. Tujuannya, agar mereka semakin semangat menjalankannya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” QS. Ali Imran 102 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosa mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” QS. Al-Anfal 29 Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di dalam tafsirnya Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, takwanya seorang hamba kepada Rabb-Nya merupakan tanda kebahagiaan dan alamat keberuntungannya. Dan Allah telah menetapkan pahala takwa yang sangat banyak yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Dan dalam ayat ini bahwa orang yang bertakwa kepada Allah mendapatkan empat hal, dan setiap bagiannya adalah lebih baik dari dunia dan apa yang ada di dalamnya Pertama, al-Furqan yaitu ilmu dan petunjuk yang dengannya dia bisa membedakan antara hidayah dan dhalalah kesesatan, hak dan batil, halal dan haram, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara. Anugerah ini, seperti yang dinukil Ibnu Katsir dari Ibnu Ishaq , adalah menjadi sebab datangnya pertolongan, keselamatan dirinya, dan solusi bagi dirinya dari segala urusan dunia dan kebahagiaannya di akhirat. Kedua dan ketiga, Takfir Sayyiat penghapusan kesalahan dan Maghfirah Dunub ampunan dosa. Keduanya, ketika dipisah memiliki makna sama. Namun ketika dikumpulkan, Takfir Sayyiat berarti penghapusan dosa-dosa kecil, sedangkan Maghfirah Dunub yakni penghapusan dosa-dosa besar. Keempat, ganjaran besar dan pahala yang banyak bagi orang yang bertakwa dan lebih mengutamakan keridhaan Allah daripada hawa nafsunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah, وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ “Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” QS. Al-Anfal 29 Menurut Syaikh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aisar Tafasirnya, adalah surga dan kenikmatannya. Sungguh besar pahala yang akan didapatkan oleh orang yang menjalankan ketakwaan, yaitu mereka yang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Yaitu mereka yang ikhlash dalam seluruh amalnya, benar-benar ittiba’ mengikuti utusan Allah, berakhlak baik, berkata benar, semangat dalam kebaikan, berlomba meraih fadhilah, beribadah dengan keyakinan berada di hadapan-Nya dan disaksikan oleh-Nya, dan benar-benar takut kepada Allah dengan penuh kesadaran bahwa selalu mengawasinya dan melihatnya di masa saja dan kapan saja. Allahu Ta’ala a’lam. [PurWD/ Tulisan Terkait 1. Bertakwalah di Mana Saja Engkau Berada! 2. Takwa, Semudah itukah?? Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita! +Pasang iklan Gamis Syari Murah Terbaru Original FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai. Cari Obat Herbal Murah & Berkualitas? Di sini Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan > jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub 0857-1024-0471 Dicari, Reseller & Dropshipper Tas Online Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller NABAWI HERBA Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon 60%. Pembelian bisa campur produk > jenis produk. AkhirPerang Dunia II di Eropa merupakan pertempuran terakhir dari Teater Eropa pada saat Perang Dunia II serta menyerahnya Jerman pada akhir April dan awal Mei 1945.. Garis Waktu. Pada tanggal 8 Mei 1945 di Berlin-Karlshort, komandan tempur Wilhelm Keitel menandatangani surat kapitulasi tanpa syarat. Ketika Hitler ditemukan telah tewas, Perang Dunia II di Eropa Banyak orang mendambakan kehidupan terbaik di dunia dan akhirat. Namun, tak sedikit di antara umat Islam justru kebingungan menentukan jalan hidupnya. Dunia seakan-akan menjadi surga yang sesungguhnya, padahal Alqur'an telah memberi petunjuk dan solusi terbaik atas persoalan yang dihadapi memang pilihan, namun semuanya tak terlepas dari soal keyakinan. Dalam Alqur'an , Allah Ta'ala mengingatkan manusia dengan firman-Nya yang artinya "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Ayat ini sangat populer dan menjadi penegas bahwa hidup adalah ujian bagi manusia. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di dalam Tafsir as-Sa'di menjelaskan makna ayat ini sebagai kematian di dunia dan kehidupan di akhirat. Barang siapa yang tunduk kepada perintah Allah dan memperbagus amalnya, maka Allah akan memperbagus balasan-Nya di dunia dan akhirat. Sebaliknya barang siapa yang mengikuti hawa nafsu dan menolak mengikuti perintah Allah, maka dia akan memperoleh balasan yang buruk. Rasulullah SAW juga mengingatkan manusia bahwa dunia adalah ladangnya akhirat. Mau tak mau, sadar atau tidak sadar, dunia akan pergi meninggalkan kita dan akhirat justru menghampiri kita. Alqur'an MenjawabAllah Ta'ala telah memberi petunjuk jelas dalam Alqur'an. Ada banyak ayat yang menjadi petunjuk bagi mereka yang mau menggunakan akal sehatnya, di antaranya Surah An-Nahl 16 ayat 97 "Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”Surah Az-Zumar 39 ayat 10 "Katakanlah Muhammad, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.' Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas."Surah Al-Hujarat 49 ayat 13 "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal."Surah Al-Qashas 28 ayat 77 "Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." Surah Ali Imran 3 ayat 31 "Katakanlah Muhammad 'Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."Dari paparan ayat di atas jelaslah bahwa tujuan hidup sejatinya bukanlah dunia. Dunia hanyalah tempat ujian karena sifatnya tidak kekal sementara. Rasulullah SAW pernah bersabda dalam satu hadits dari Abu Hurairah "Umur umatku antara 60 sampai 70 tahun. Dan sangat sedikit di antara mereka yang melewati itu". Sejatinya, tujuan hidup bukanlah sekadar menginginkan surga, melainkan Allah adalah tujuannya dan keridhaan-Nya lah semata-mata yang dicari. Untuk meraih ridha Allah tentu butuh usaha, pengorbanan jihad, perjuangan, tekad, ijtihad, kegigihan dan Ta'ala memberi petunjuk dalam Surah Ali 'Imran ayat 31, apabila ingin mendapat ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka ikuti dan taatilah Rasulullah SAW, hidupkan sunnahnya. Akhir kalam, sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan kebahagiaan. Aamin rhs
Tetapikamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [al-A’la/87:16-17]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perbandingan antara dunia dan akhirat.
– Salah satu ciri utama seorang yang bertaqwa ialah pemahamannya akan dunia dan akhirat sebagaimana dikehendaki Allah سبحانه و تعالى . Ia yakin bahwa dunia merupakan sekedar tempat bersenda-gurau dan bermain belaka. Sedangkan kehidupannya kelak di akhirat ia pandang lebih utama daripada kehidupan di dunia. Kehidupan akhirat-lah yang ia sikapi secara serius. Ia tidak mau bermain-main maupun bersenda-gurau dengan kehidupan akhiratnya. Sehingga untuk kehidupan dunia ia berikan perhatian yang secukupnya saja. وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُالْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” QS Al-An’aam ayat 32 Keberhasilan yang dikejar secara serius oleh seorang muttaqin ialah keberhasilan di akhirat. Baginya keberhasilan di dunia merupakan sesuatu yang bersifat supplementary faktor pelengkap saja. Tetapi keberhasilan di akhirat adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar sedikitpun karena ia merupakan faktor utama. Ia tidak rela mempertaruhkan keberhasilannya di akhirat demi keberhasilannya di dunia. Namun sebaliknya, demi keberhasilannya di akhirat ia rela kehilangan keberhasilannya di dunia. Berapapun bagian dari dunia akan ia relakan bila hal itu dapat menjamin keberhasilannya di akhirat. Sebab ia sangat yakin bahwa kehidupan sebenarnya adalah di negeri akhirat. Sedangkan kehidupan di dunia tidak lain hanyalah senda-gurau dan permainan belaka. Kalaupun berhasil di dunia, maka itu merupakan keberhasilan sesaat, sementara dan palsu. Namun keberhasilan di akhirat merupakan keberhasilan hakiki dan abadi. Bagaimana mungkin ia akan rela kehilangan keberhasilan hakiki dan abadi demi memperoleh keberhasilan sesaat, sementara, dan palsu? وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” QS Al-Ankabut 64 Namun dalam realitas kita melihat banyak manusia modern justeru bersikap sebaliknya. Dan ini tidak saja diperlihatkan oleh sembarang manusia. Bahkan sebagian manusia yang mengaku muslim sekalipun menampilkan sikap terbalik. Bila menyangkut urusan peluang keberhasilan di dunia ia menjadi sangat serius. Ia kerahkan perhatian, waktu, tenaga dan uang tanpa keraguan. Namun bila menyangkut urusan peluang keberhasilan di akhirat ia malah bersikap setengah hati bahkan bermain-main dan bersenda-gurau. Ia sangat fokus akan sukses dunia namun sangat tidak peduli sukses akhirat. Seolah sukses dunia merupakan sesuatu yang hakiki sedangkan sukses akhirat hanyalah mimpi tanpa bukti. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu sebab mengapa banyak orang yang mengaku muslim memiliki logika dan sikap terbalik menghadapi dunia dan akhirat karena mereka telah masuk ke dalam perangkap “lubang biawak” yang ditawarkan oleh penguasa dunia modern dewasa ini, yaitu masyarakat barat Amerika-Eropa alias masyarakat kaum yahudi-nasrani. Dan keadaan ini sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم sejak limabelas abad yang lalu. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun, maka kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum yahudi dan nasrani?” Beliau menjawab “Siapa lagi kalau bukan mereka?” HR Muslim – shahih Dunia modern dewasa ini membuktikan kebenaran prediksi Nabi صلى الله عليه و سلم di atas. Kita menyaksikan bagaimana di satu sisi Allah سبحانه و تعالى berikan hak kepemimpinan dunia global leadership kepada kaum yahudi dan nasrani dan pada sisi lain banyak kaum muslimin menjadi pengekor kaum yahudi-nasrani sedikit demi sedikit sehingga tatkala dijebloskan ke dalam lubang biawak sekalipun kaum muslimin cenderung ikut saja. Padahal kaum yahudi-nasrani memiliki cara pandang terhadap dunia sebagaimana peradaban Romawi dahulu kala, yakni cara pandang materialisme. Hal ini Allah سبحانه و تعالى singkap di dalam surah yang nama surahnya berarti bangsa Romawi, yaitu surah Ar-Ruum ayat ke tujuh يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاوَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ “Mereka hanya mengetahui yang lahir/material saja dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai.” QS Ar-Ruum ayat 7 Peradaban Romawi masa lalu merupakan peradaban digdaya namun dilandasi faham materialisme. Mereka hanya memahami keberhasilan berdasarkan tolok-ukur dunia fana. Mereka tidak peduli bahkan mengingkari adanya kehidupan sebenarnya di akhirat kelak. Oleh karenanya mereka berprinsip “It’s now or never” kalau tidak berhasil sekarang, maka tidak akan pernah berhasil selamanya. Dunia modern-pun meyakini paradigma yang serupa. Akhirnya segenap manusia diarahkan untuk meyakini hal serupa, tanpa kecuali kaum muslimin-pun disihir dengan cara pandang materialisme. Akhirnya muncullah orang-orang yang mengaku muslim dan merasa bertaqwa tetapi cara-pandangnya mirip dengan kaum yahudi-nasrani. Mereka lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat. Peduli sukses dunia daripada sukses akhirat. Bahkan penyakit ini menjangkiti sebagian orang yang dikenal sebagai Ustadz di tengah masyarakat. Para “ustadz” ini bila menafsirkan ayat Allah mengenai bagaimana seharusnya mensikap dunia dan akhirat, maka mereka menafsirkannya berdasarkan faham materialisme alias dunia-oriented. Misalnya terhadap ayat berikut وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi.” QS Al-Qashshash 77 Sudah sangat jelas bahwa melalui ayat di atas Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita mengejar negeri akhirat sebagai fokus utama. Sedangkan terhadap kenikmatan duniawi Allah hanya mengatakan “jangan kamu lupakan bahagianmu”. Artinya, Allah menyuruh kita all out habis-habisan mengejar kebahagiaan akhirat. Sedangkan terhadap dunia yang penting jangan sampai kita melupakannya atau mengabaikannya. Redaksi ayat sudah amat-sangat jelas seperti demikian. Namun di era penuh fitnah dewasa ini bermuncullanlah para “ustadz” yang tatkala menafsirkan ayat di atas berkata “Wahai kaum muslimin, silahkan berlomba menjadi orang kaya di dunia, sebab Islam tidak melarang anda menjadi orang kaya. Bahkan para sahabat banyak yang kaya-raya seperti Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan. Silahkan kejarlah berbagai keberhasilan dunia….. Yang penting, janganlah sampai melupakan kehidupan akhirat…..!” SubhaanAllah…. sepertinya nasihat yang sungguh indah. Tetapi kalau kita renungkan dalam-dalam jelas bahwa tafsiran yang disampaikan pak “ustadz” di atas bertentangan 180 derajat dengan apa yang Allah sebutkan di dalam ayatnya. Pak ustadz jelas-jelas telah mengekor kepada paradigma materialisme peradaban Romawi. Pak ustadz telah masuk ke dalam lubang biawak..! Pak Ustadz nyata-nyata lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada sukses akhirat. Di dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah menyuruh kita untuk berlomba mengejar dunia. Berkompetisi merebut keberhasilan di dunia apakah itu dalam hal kekayaan, popularitas, kekuasaan dan lain sebagainya tidaklah Allah perintahkan. Bila sudah berkenaan dengan kompetisi pasti Allah menyuruh kita berlomba merebut sukses akhirat. Coba perhatikan ayat-ayat di bawah ini وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” QS Ali Imran 133 تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِيُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍخِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَوَمِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيمٍعَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak tempatnya, laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, yaitu mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” QS Al-Muthaffifiin 24-28 Ketika Allah menyuruh “bersegeralah kamu” maka yang dimaksud adalah mengejar ampunan Allah dan surgaNya. Ini semua merupakan perkara di akhirat kelak. Ketika Allah menyuruh “untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” maka Allah menyisipkannya di tengah rangkaian ayat yang sedang berbicara mengenai berbagai kesenangan penghuni surga. Ini adalah urusan akhirat. Jadi, tidak pernah Allah menyuruh kita untuk mengejar dunia dan mengejar ketertinggalan kita dari orang-orang kafir di dalam urusan dunia. Bahkan jelas-jelas Allah melarang Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم beserta ummatnya bergaul dan berdekat-dekat dengan manusia yang dalam segala perhatian dan pembicaraannya hanya melulu urusan dunia. فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ ”Maka berpalinglah hai Muhammad dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” QS An-Najm ayat 29-30 Pantaslah bilamana Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم mengajarkan kita doa agar dunia tidak menjadi batas pengetahuan seorang mukmin dan muttaqin. اللهملَا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia menjadi perhatian utama kami serta batas pengetahuan kami.” HR Tirmizi – Hasan
Vaksin Covid-19 baru, termasuk yang tidak menggunakan jarum dan dapat disimpan pada suhu kamar, mungkin siap digunakan akhir tahun ini atau tahun depan. Harapan baik ini dikatakan oleh ilmuwan top Organisasi Kesehatan Dunia ()."Uji klinis dan tinjauan terhadap 6-8 vaksin baru mungkin selesai akhir tahun," kata Soumya Swaminathan, kepala
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID zXzyX1kMA74g9VZy2WIh9KX8V79H_SnqXrtfv_8LBAaNXtb22kAUkw==
DariAnas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: bukankah orang yang paling baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat.
– Kita acap kali tidak adil dalam memberi perhatian terhadap urusan dunia dan urusan akhirat. Seringkali seluruh perhatian dan potensi dikerahkan untuk urusan dunia, sedangkan akhirat seperlunya saja. Padahal dunia dan akhirat sangat tidak sebanding. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam Kitab-Nya bahwa Akhirat lebih baik dari dunia. “Wal akhiratu khairun laka minal ula; dan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan yang pertama dunia”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Adh-Dhuha. Bahkan akhirat tidak hanya lebih baik dari dunia. Ia juga lebih kekal. “Wal akhiratu khairun Wa abqa; dan akhirat lebih baik serta lebih kekal”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lain. Olehnya, tidak selayaknya kita mengerahkan seluruh perhatian dan potensi untuk dunia yang sementara lalu mengabaikan akhirat yang kekal dan lebih baik. Seharusnya perhatian dan kesungguhan kita terhadap dunia sekadar dengan singkatnya kita berdiam di sini. Demikian pula dengan akhirat, perhatian kita kepadanya hendaknya seukur dengan lamanya tinggal di sana, sebagaimana diwasiatkan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. “Bekerjalah untuk duniamu seukur berapa lamanya kau akan tinggal di bumi. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seukur berapa lamanya kau akan hidup di sana”. Donasi Situs Islam Arrahmah Arrahmah Care Rp 0terkumpul Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita sebagai hambaNya, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak ” QS al-Hadid 20. Saat melewati sebuah pasar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab, “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi, “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan cuma-cuma pada kalian?” Serentak mereka menimpali, “Demi Allah, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi”. Sambil tersenyum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia di sisi Allah jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini“ HR. Bukhari. Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air“ HR. Tirmidzi. Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia. Dalam menyikapi kehidupan dunia dan tujuan akhirat yang dituju, anak adam terbagi menjadi dua Golongan pertama, mereka yang mengingkari kehidupan akhirat setelah alam dunia ini berakhir. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan tidak percaya akan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan“. QS Yunus 7. Golongan kedua, mereka yang meyakini adanya hari pembalasan pasca kehidupan dunia. Golongan ini mengakui para Rasul serta membenarkan risalahnya. Kendati kondisi mereka bertingkat, seperti disinggung dalam firman-Nya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” QS. Fathir 32. Berdasarkan ayat di atas, golongan kedua ini Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi mereka ke dalam beberapa kelompok, yaitu Pertama, zaalimun linafsihi. Yakni, orang yang menzalimi diri sendiri. Dalam kehidupan ini mereka banyak terjebak dalam perkara-perkara haram. Sebab bagi mereka, dunia adalah segalanya. Wala’ kecenderungan-nya pun sepenuhnya diserahkan pada dunia. Makanya, mereka dikatakan menzalimi diri sendiri. Karena sikap mereka itu sedikitpun tidak memberi mudharat bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka itu kembali pada diri sendiri. Gerak hidup mereka kebanyakan didominasi kepentingan hawa nafsu dan pemuasan syahwat hewani. Kedua, muqtashid. Yakni, golongan pertengahan. Mereka menikmati kehidupan dunia dari arah yang dibolehkan, disamping melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan syari’at. Golongan ini tidak tercela. Hanya saja derajat mereka di sisi Allah Ta’ala tidaklah istimewa. Diriwayatkan, Umar bin al-Khattab t berkata, “Seandainya bukan karena takut derajatku di surga akan berkurang, sudah pasti aku akan mendahului kalian dalam hal kehidupan dunia. Saya mendengar Allah Ta’ala mencela suatu kaum melalui firman-Nya, “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya“ QS al-Ahqaf 20. Ketiga, sabiqun bi al-khairaat. Yakni, orang-orang yang bersegera mengerjakan amal-amal kebajikan. Mereka paham hakikat kehidupan dunia ini. Mengerti maksud dan tujuan mengapa mereka diciptakan. Hingga akhirnya mengarahkan mereka mengubah segala gerak dalam hidup sebagai amal dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Disamping itu, mereka sadar, bahwa Allah Ta’ala menempatkan segenap hambaNya di bumi untuk menjalani ujian. Hal ini, agar kelihatan siapa yang paling baik amalnya. Paling zuhud terhadap dunia. Dan paling cinta pada negeri akhirat. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” QS al-Kahfi 7, demikian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa cukup mengambil dunia sekedar bekal menghadapi perjalanan panjang. Karena dunia, menurut mereka, adalah terminal mengisi segala perbekalan yang dibutuhkan. Olehnya, Allah Ta’ala mengingatkan kita akan hal itu “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa“ QS al-Baqarah 97. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini?!, tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya“. HR. Tirmidzi. Artinya, kampung sebenarnya bagi hamba adalah kampung akhirat. Keluarga hakiki baginya adalah keluarga di akhirat. Harta kekayaan sebenarnya adalah harta di akhirat. Merugilah orang-orang yang tega menjual akhiratnya demi mengais secuil kesenangan dunia yang fana. Makanya, tanamkan niat taqwa dalam seluruh aktifitas hidup. Hal mana agar setiap perbuatan kita di muka bumi bernilai pahala di sisi-Nya. Sebab demikianlah maksud keberadaan kita di dunia. Ibadah, dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Mu’adz bin Jabal t berkata, “Aku mengharapkan pahala dari tidurku, sebagaimana mengharapkan pada waktu terjagaku shalat malam”. Mengapa kita selalu lelah di dunia ini? Sebelum menjawabnya, marilah kita melihat dan merenungi bagaimana al-Qur’an bertutur kepada kita. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berdzikir dan mengerjakan shalat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka berlarilah bersegeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” QS. al-Jumu’ah 9. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan kebaikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan” QS. al-Baqarah 148. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memohon dan meraih ampunanNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga” QS. Ali-Imran 133. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk kembali dan menuju kepadaNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlarilah kembali ta’at kepada Allah” QS. Adz-Dzaariyat 50. Seluruh bentuk perintah untuk akhirat di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya dengan kata atau kalimat perintah ; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna. Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang dunia dan semua bentuk kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata atau kalimat dalam bentuk lainnya. Mari kita lihat. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang urusan menjemput rizki duniawi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari RizkiNya” QS. Al-Mulk 15. Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menggunakan kata atau kalimat perintah; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna seperti pada perkara-perkara akhirat di atas. Namun, dalam ayat tersebut, untuk urusan dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala cukup menggunakan kata atau kalimat “berjalanlah”. Jika kita mau merenungi hal ini, semestinya kita bisa memahami, kapan kita perlu berlari, atau menambah kecepatan lari kita, atau bahkan cukup berjalan saja. Jangan-jangan, selama ini kita merasa lelah, karena malah berlari mengejar dunia yang seharusnya cukup dengan berjalan. Oleh karena itu, sekali lagi, adillah Saudaraku! Adil itu tidak harus sama. Tapi, adil itu ketika kita mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ya, akhirat tempatnya teramat jauh dan tinggi dibandingkan dunia. “Dunia dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang di antara kalian mencelupkan jarinya kelautan, maka hendaklah ia melihat air yang menempel di jarinya setelah ia menariknya” HR. Muslim, begitu pesan Nabi kita. Namun, betapapun akhirat menjadi tujuan tertinggi, tentu saja dunia adalah bagian dari kehidupan kita yang tidak dilupakan. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi” QS. Al-Qashas 77, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sebuah ayatNya. Maksudnya yaitu gunakanlah harta yang banyak dan nikmat yang berlimpah yang telah Allah berikan kepadamu di dalam ketaatan kepada Rabmu dan untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai macam bentuk taqarrub, yang dengannya engkau akan mendapatkan pahala di negeri akhirat. Namun, janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi yaitu apa- apa yang telah Allah halalkan untukmu di dunia seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan pernikahan, sesungguhnya Rabmu mempunyai hak darimu, dirimu mempunyai hak darimu, keluargamu mempunyai hak darimu, istriu mempunyai hak darimu, maka berikanlah hak kepada setiap pemilik hak Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 253-254. Wallahu a’lam. Oleh Azwar Iskandar/Wahdah */
Membaca melihat dengan mata dan qalbu/hati/jantung, tafakur (memikirkan) hukum-hukum Allah qauliyah dan kauniyah pada TANDA-TANDA yang diberikan oleh ALLAH SWT .. agar tidak terjatuh dalam keKAFIRan, keMUNAFIKan, keMUSYRIKan, keFASIKan besar, yang menyebabkan kita diazab oleh Allah di dunia dan AKHIRAT apalagi SIKSAAN KEKAL di
AKHIRAT LEBIH BAIK DARI DUNIAAssalaamualaikum wr wbInnal hamdalillah..Nahmaduhu wanasta’inuhu wanastaghfiruhu wana’udzubillahi min syuruuri anfusinaa wamin sayyiati a’malina. Man yahdillah falaa mudhilalah. Waman yudhilhu falaa hadiyalah. Allahumma solli wasalim ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa’alaa alihi wasohbihi ajma’in. amma ba’duIbu ibu… mari kita buka kajian kita sore ini dengan bacaan umul kitab. Bi ridhoi ta’ala wa bil manfaati ilmi, alfaatihah…..Allahumma innii a’udzubika an adhilla au udhallaAu azilla au uzalla, au azlima au uzlama, au ajhala au yujhala ‘alayyah…..Alhamdulillah….Kita masih bisa bertemu lagi hari ini setelah sepekan berlalu ya ibu ibu. Smoga hari ini kita tetap dalam keadaan sehat dan penuh semangat untuk mencapai ridha Allah…aamiin yaa yang dirahmati Allah…hari ini kita akan belajar tentang salah satu diantara dasarnya ilmu. Kalau kata imam Al Ghazali, dasarnya ilmu itu adalah ketika akhirat lebih engkau cintai daripada dunia. Dari dasar atau fondasi itulah ilmu islam dibangun. Dan dari fondasi itulah kita memahami ma’rifatullah, memahami ibadah kepada Allah, kita memahami akhlaq, muamalah, dsb. Semua dari dasar yang salah satunya adalah ketika akhirat lebih kita cintai daripada duni. Sedangkan puncaknya ilmu kata beliau, adalah takut kepada hikmah kata nabi makhaafatullah….PUNCAKNYA ILMU ADALAH TAKUT KEPADA ALLAH SWTJadi bisa kita simpulkan dari 2 kalimat ini. Hal yang pertama yang harus benar2 kita kuasai dalam belajar ilmu islam itu adalah, merasa akhirat itu kita rindukan, lebih kita cintai, lebih baik drpd dunia. Dan dari situ nanti akan terbangun puncaknya ilmu yaitu sampai kepada tingkat takut kepada Allah YAGHSYALLAHA MIN IBADIHI AL ULAMA’sesungguhnya yang takut kepada Allah, diantaranya adalah org2 yang berilmu. Maka dari itu ibu2, jangan pernah Lelah, jangan pernah patah semangat , jangan pernah merasa cukup dalam menuntut ilmu. Ibu-ibu yang dirahmati Allah…Dari pemahaman dasar inilah kita bisa mudah mengajak keluarga kita. Suami, anak2 kita kepada amalan2 sholeh.
1FRnHL6.
  • q9ejm3fpan.pages.dev/310
  • q9ejm3fpan.pages.dev/309
  • q9ejm3fpan.pages.dev/59
  • q9ejm3fpan.pages.dev/158
  • q9ejm3fpan.pages.dev/227
  • q9ejm3fpan.pages.dev/116
  • q9ejm3fpan.pages.dev/287
  • q9ejm3fpan.pages.dev/241
  • q9ejm3fpan.pages.dev/24
  • akhirat lebih baik dari dunia